Kamis, 15 Januari 2009

Memahami Arti Jihad


Peristiwa bom bunuh diri akhir-akhir ini yang dilakukan oleh beberapa orang dengan dalih jihad fisabilillah telah menyedot banyak kalangan angkat bicara persoalan ini, terutama tentang pemaknaan jihad yang sebenarnya. Namun, opini yang berkembang luas di berbagai media masa justru cenderung mengkaburkan bahkan mendistorsi makna jihad yang sebenarnya.

Pengertian Jihad
Jihad itu mengandung dua muatan makna, bahasa dan istilah Makna jihad secara bahasa adalah kesulitan (masyaqah) (Fathul Bari Syarh Shakhih Bukhari dan Naylul Awthar), atau juga mempunyai arti kesungguhan (juhd), kemampuan menanggung beban (thaqah) dan kesulitan (masyaqah) (Kamus al Muhath). Jihad dalam aspek bahasa juga bermakna mencurahkan segala usaha atau tenaga untuk memperoleh tujuan tertentu (Al Jihad Walqital Fissiyasah Asy Syar’iyah).


Sementara pengertian jihad dalam konteks syar’i/istilah adalah mengerahkan segenap potensi untuk berperang di jalan Allah, baik secara langsung atau tidak langsung, misalnya melalui bantuan materi, sumbangsih pendapat, penyediaan logistik dan lain-lain (Raddul Mukhtar III). Dalam pengertian syar’i, jihad juga bermakna mengerahkan segenap kesungguhan dalam memerangi orang kafir (Fathul Bari Syarh Shakhih Bukhari).Walhasil, secara bahasa, jihad mencakup makna yang cukup luas, meliputi jihad melawan hawa nafsu, jihad ekonomi, jihad pendidikan, jihad politik, jihad pemikiran, jihad mencari ilmu dan lain-lain.

Sebaliknya, jihad menurut makna syariat, sebagaimana dibahas dalam literatur fiqh, selalu berkaitan dengan pembahasan tentang perang, penaklukan, ekspedisi militer di wilayah-wilayah Darul Harb (negara yang memusuhi Islam). Banyak sekali ayat-ayat Al Quran yang berbicara tentang jihad (perang). Namun demikian, dalam konteks jihad sesuai pengertian syar’i, ada dua jenis penjelasan, yaitu yang eksplisit (gamblang) dan implisit (tersirat). Yang eksplisit antara lain adalah firman Allah Subhanahu wata’ala:

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS. Al Haj:39).
atau seperti ayat berikut:

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” ) (Q.S. Al Anfal;39).

Sedangkan yang implisit, tetapi tetap tidak bisa diartikan kecuali perang, antara lain:
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (QS. At Taubah:73)


Ada pula nash-nash jihad yang mengandung pengertian selain peperangan, antara lain:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Ankabut:69).

Juga ada Hadits yang berbicara tentang jihad yang mengandung pengertian selain perang, yaitu: “Sayyidatina A’isyah bertanya kepada Nabi, ‘Adakah jihad bagi kaum wanita?’ ‘Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Yaitu haji dan umrah.” (HR. Ahmad).

Para ulama fiqih membahas makna jihad dalam arti syara’ (bukan dalam pengertian bahasa) dalam beberapa aspek, dari hukum berjihad, siapa yang wajib berperang, etika berperang, siapa yang wajib diperangi, keutamaan mati syahid dan lain sebagainya. Oleh karena itu pengertian jihad dalam arti syar’i harus dipahami oleh seluruh umat Islam. Jangan sampai pemaknaan jihad itu mengalami kerancuan dan pembelokan, seperti yang sedang marak akhir-akhir ini. Sebagian kelompok menterjemahkan jihad dengan makna perang secara membabi buta, seperti halnya bom bunuh diri. Sebaliknya, kelompok lain memahami jihad dengan pemaknaan yang terkesan mengecilkan perang. Mereka lebih suka mengedepankan jihad dengan pengertian jihad ekonomi, jihad pendidikan, jihad melawan nafsu dan lain-lain dari pada jihad yang bermakna perang. Bahkan sebagian yang lain, jelas-jelas mengatakan bahwa jihad itu bukan perang, menurutnya, nash Al Quran menjelaskan perang dengan sebutan qital, bukan jihad. Sungguh, beberapa pendapat di atas yang dewasa ini seringkali menghiasi media masa, jelas-jelas merupakan pendapat yang tidak berdasar dan tidak mempunyai pijakan yang jelas dalam kitab-kitabnya para ulama salaf yang telah terbukti kredibitasnya.

Bertahan dan Menyerang
Setiap individu muslim yang sudah dewasa diwajibkan (fardlu ain) mempertahankan negaranya dari serangan musuh yang ingin menghancurkan kedaulatan dan keutuhan negara Islam. Hal ini dijelaskan dalam Surah Al Baqarah ayat 190: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah melampaui batas.”

Selain berperang mempertahankan kedaulatan negaranya dari serangan musuh, dalam Islam juga dikenal dengan penaklukan terhadap negara-negara kafir yang memusuhi Islam, menghalangi dakwah dan membuat kerusakan di muka bumi. Perang yang bersifat menyerang ini hukumnya fardlu kifayah bagi umat Islam yang sudah baligh, laki-laki, merdeka, tidak cacat dan mempunyai biaya yang cukup untuk berperang dan cukup untuk keluarga yang ditinggalkannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasulnya dan tidak beragama dengan agama yang benar (Islam), yaitu dari orang-orang yang diberikan Al Kitab kepada mereka, hingga mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At Taubah:29).

Sekilas, dengan pendekatan perang model kedua ini, Islam terkesan sebagai agama radikal dan penuh kekerasan. Seakan Islam adalah agama yang disebarkan dengan pedang dan cara-cara pemaksaan. Namun sebenarnya, Islam tidak tidak pernah memaksakan keyakinan keberagamaan Islam kepada orang-orang non muslim. Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah:256).
Penyerangan ini semata-mata bertujuan agar tidak ada lagi syariat yang mengatur manusia di atas dunia ini kecuali Islam. Karena hanya dengan diterapkannya syariat Islam, kemaslahatan dan rahmat bisa tercipta bagi kehidupan manusia. Selain itu, perang dengan menaklukkan atau menyerang darul harb (negara yang memusuhi Islam) atau kafir harb (kafir yang memusuhi Islam) ini harus melalui beberapa tahaban. Pertama, tawaran kepada mereka untuk tunduk terhadap kekuasaan Islam. Tahab kedua, jika menolak, mereka diminta membayar jizyah (pajak) dengan jaminan perlindungan keamanan dan hak mereka sama dengan kaum muslimin. Tahab ketiga, jika menolak, ditawarkan perang.

Penyerangan atau penaklukan yang dilakukan oleh kaum muslimin ini sejatinya jauh berbeda dengan penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara Barat. Mereka menaklukan negara-negara kecil dan lemah dengan tujuan menjajah, menindas dan merampas, untuk semata-mata kepentingan sendiri. Jika misi kaum penjajah adalah penindasan dan pemerasan, sebaliknya, misi perang dalam Islam adalah menciptakan rahmatan lil alamin, mengembalikan manusia ke dalam agama dan kehidupan yang suci untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Akibatnya, negara-negara jajahan kaum kolonialis mengalami keterbelakangan, ketertindasan, kehancuran, dan kemiskinan, sebaliknya negara-negara taklukan tentara-tentara Islam justru mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat dalam segala aspek kehidupan, di bidang ekonomi maupun saint dan teknologi. Contohnya adalah penaklukan Mesir oleh Khalifah Umar bin Khattab, Andalusia oleh Thariq bin Ziyad dan lain-lain.

Islam mensyari’atkan perang tapi penuh dengan etika. Hadits berikut ini sebagai buktinya:
“Ketika mengutus panglima perang Rasulullah shollallahu alaihi wasallam berwasiat kepadanya dan seluruh pasukan agar bertaqwa dan berbuat baik. Rasulullah bersabda, ‘Berperanglah di jalan Allah dengan nama Allah (ikhlas). Perangilah orang kufur pada Allah. Janganlah kalian berkhiyanat. Janganlah kalian menipu. Janganlah kalian mencincang. Janganlah kalian membunuh anak-anak.” (HR. Tirmidzi).

Etika berperang juga diajarkan oleh Khalifah Abu Bakar Shidiq ra. ketika mendelegasikan Usama bin Zaid ke Syam, “Janganlah kamu berkhianat, jangan menipu, jangan mencincang, jangan membunuh anak kecil, jangan membunuh orang tua, jangan membunuh perempuan, jangan menebang pohon kurma dan jangan pula membakarnya, jangan menebang pohon yang berbuah, jangan menyembelih kambing, lembu atau unta kecuali untuk dimakan. Jika kamu melewati kaum yang mengabdikan diri di gereja, maka biarkanlah mereka beserta pengabdiannya.” (Tafsir Ayatul Ahkam).


Di sinilah letak seni keindahan perang dalam Islam. Dengan begitu tidak ada alasan menjatuhkan vonis bahwa Islam adalah agama radikal. Tidak ada celah menuduh Islam sebagai agama yang melegalkan segala bentuk kekerasan dan kesadisan. Justru sebaliknya, Islam adalah agama penebar rahmat (kasih sayang) bagi kehidupan alam semesta. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya:108)